Selamat

Selamat datang di Santri Gubrak
Media Santri Nasionalis, Pluralis dan Indonesianis

Senin, 21 Februari 2011

Jaminan Perlindungan Perempuan dalam Nikah Sirri & Mut’ah


Dra. Sinta Nuriyah A. Wahid, M. Hum
Majalah Tantri. Sebelum saya memaparkan perspektif ajaran Islam tentang nikah sirri dan mut’ah, terlebih dahulu saya akan menjelaskan pengertian kedua macam nikah tersebut, agar tidak terjadi kerancuan antara keduanya. Yang dimaksud dengan nikah mut’ah adalah, pernikahan yang dilakukan oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan batasan atau dalam jangka waktu tertentu. Jika jangka waktu yang ditentukan sudah habis, maka ikatan perkawinan mut’ah tersebut harus berakhir dengan sendirinya.
Nikah mut’ah ini terjadi pada masa awal sejarah Islam, yaitu tatkala para sahabat Nabi Muhammad SAW sedang giat melakukan perjuangan perluasan Islam, baik dengan jalan damai maupun peperangan. Di tempat-tempat yang baru ini, diantara para sahabat Nabi ada yang menikahi perempuan-perempuan setempat, dan ditinggalkan pada waktu mereka kembali ke negeri asalnya. ...
Nikah mut’ah ini diizinkan oleh Rasul sebagai bentuk dispensasi kepada para sahabat yang sedang melakukan perang, sebagaimana dinyatakan dalam hadist riwayat Muslim dari Salamah bin al-Akwa’, yang menegaskan bahwa pada waktu perang Autas (nama salah satu tempat di Jazirah Arab), Rasulullah pernah memberikan dispensasi (rukhsah) kepada para sahabatnya untuk melakukan nikah mut’ah selama tiga hari. Namun setelah itu, Rasulullah melarang (mengharamkan) nikah tersebut. Pernyataan ini diperkuat oleh suatu hadist yang diriwayatkan oleh Suburah al-Juhni yang menyatakan, bahwa pada saat terjadi pembebasan kota Makkah, Rasul mengijinkan para sahabat untuk melakukan nikah mut’ah, namun akhirnya Rasul melarang nikah tersebut.
Mengenai nikah sirri, tidak ada rujukannya dalam istilah fiqh Islam. Pada dasarnya nikah sirri ini adalah pernikahan yang hanya dilakukan menurut persyaratan formal hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan secara formal dalam ketentuan hukum positif. Istilah nikah sirri muncul karena adanya dualisme ketika hukum diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu hukum agama (fiqh/syariah) dalam hukum positif (KUHAP dan sejenisnya). Dalam pandangan hukum agama (fiqh), selagi proses pelaksanaan perkawinan itu berjalan sesuai dengan syarat dan rukun yang ditetapkan dalam fiqh, maka perkawinan tersebut dianggap sah. Masing-masing pihak terikat untuk melakukan hak dan tanggung jawab sebagaimana yang telah digariskan dalam hukum agama. Sementara itu, hukum formal positifistik yang mengandalkan bukti-bukti material sebagai dasar dalam penetapan hukum dan menentukan konsekwensinya, tidak bisa menerima dan memasukkan komitmen moral sebagai suatu alat hukum. Disinilah munculnya benturan antara hukum agama dengan hukum positif, yang memunculkan istilah nikah sirri dalam terminology hukum masyarakat Indonesia.
Nikah dan Jaminan Perlindungan
Secara filosofis, pernikahan sebenarnya dilakukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada kaum perempuan. Dengan pernikahan, Islam hendak mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan. Berdasarkan sejarahnya hukum Islam ini turun untuk mengatur dan menata kehidupan sosial masyarakat jahiliyah Arab yang sangat tribal dan paganistik. Mereka sama sekali tidak menghormati kaum perempuan, karena mereka hanya dijadikan sebagai budak pemuas nafsu dan bahan warisan. Dalam kondisi demikian, Islam melakukan penataan sosial melalui penciptaan hukum yang lebih memihak, dan memberikan jaminan perlindungan kepada kaum perempuan, nasabnya dan masa depannya. Untuk itu, maka diturunkanlah suatu aturan mengenai pernikahan. Dengan pernikahan ini, hak dan kewajiban masing-masing pihak (antara lelaki dan perempuan) menjadi jelas dan tegas.
Hal seperti inilah sebenarnya yang juga menjadi spirit dalam penetapan nikah mut’ah. Dispensasi pelaksanaan nikah mut’ah yang diberikan oleh Nabi, bisa dipahami sebagai jalan keluar dan kompromi sosial pada zamannya. Nikah mut’ah dilakukan untuk memenuhi tuntutan bilogis para sahabat yang melaksanakan misi agama. Agar penyaluran biologis tersebut tetap dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan hak dan kewajiban, maka harus dilakukan dengan prosedur dan cara tertentu, yaitu melalui nikah mut’ah tersebut. Namun harus dipahami, perangkat sosial pada saat itu masih sangat sederhana, dan problem sosial belum sekompleks sekarang ini, sehingga cukup dengan nikah mut’ah, persoalan sosial yang ada bisa dise-lesaikan.
Di luar dugaan, ternyata pernikahan mut’ah juga banyak menimbulkan problem sosial pada saat itu. Banyak kaum perempuan yang akhirnya dirugikan, akibat dari nikah mut’ah tersebut. Sebetulnya perempuan yang melakukan nikah mut’ah, tetap memiliki hak dan perlindungan sebagaimana perempuan yang nikah biasa, hanya saja secara teknis, mereka kesulitan untuk mencari jejak dan meminta pertanggungjawaban kepada lelaki yang menikahinya, lebih-lebih bila perempuan tersebut sudah memiliki anak. Akibatnya, kaum perempuan tetap terlantar dan tidak mendapat jaminan kepastian dan perlindungan hukum. Atas dasar ini, maka Rasul akhirnya memutuskan untuk mengharamkan pernikahan mut’ah. Hal ini terjadi karena dampak negatifnya lebih besar daripada manfaatnya. Alternatif pemecahan masalah terhadap kebutuhan lelaki yang bertugas menjalankan misi agama, ternyata menimbulkan problem sosial yang bertentangan dengan misi agama. Oleh karenanya Nabi mengharamkan pelaksanaan nikah mut’ah.
Hukum Agama dan Hukum Postif
Secara subtantif fungsional, sebenarnya tidak ada perbedaan antara hukum agama (Islam) dengan hukum positif, yaitu memberikan jaminan perlindungan pada diri setiap subyek hukum, baik lelaki maupun perempuan. Atas dasar ini, seorang intelektual Islam, Sa’aduddin al Ashmawi menyatakan, bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan fungsional antara hukum Islam dengan hukum positif. Keduanya memiliki fungsi sama, yaitu menjaga ketertiban sosial melalui pemberian sangsi (punishment) dan pencegahan (ditterens). Perbedaan terletak pada perspektif dan penekanan alat hukum. Hukum agama lebih menekankan pada aspek moral sebagai pijakan dalam pelaksanaan praktek hukum. Dalam hal ini, kita bisa melihat perkawinan sebagai contoh kasus.
Dalam hukum Islam, ketika syarat perkawinan itu sudah terpenuhi, maka perkawinan tersebut sudah sah, dan memiliki konsekwensi hukum meski tidak ada bukti material formal. Dengan adanya wali, saksi, mahar, ijab qabul dan pengantin, perkawinan sudah sah meski tidak tercatat. Ini terjadi karena dalam hukum agama muncul asumsi, bahwa orang-orang yang melakukan ikrar perkawinan secara Islam, sudah memiliki komitmen moral yang kuat untuk menjalankan tugas dan kewajiban sebagaimana yang telah digariskan dalam Islam. Pelaksanaan hal tersebut langsung diawasi dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Kalau mereka ingkar dan berkhianat dari apa yang telah digariskan, mereka akan mendapat hukuman dan siksaan dari Allah. Akibatnya bukti-bukti material sebagaimana yang dipersyaratkan dalam hukum positif, menjadi tidak diperlukan lagi.
Hal ini bertentangan dengan paradigma hukum positif, yang mengutamakan bukti-bukti material sebagai pijakan untuk mengambil tindakan hukum. Ini terjadi, karena hukum positif tidak menggunakan pendekatan moral sebagai pijakan dalam membangun asumsi penataan manusia sosial. Sebaliknya hukum positif selalu berangkat dari suatu asumsi, bahwa pada hakekatnya manusia memiliki kecenderungan untuk mengingkari setiap tindakan yang bisa merugikan dirinya. Oleh karenanya, untuk mencegah terjadinya tindakan pengingkaran tersebut, perlu dibuat bukti-bukti material-formal yang bisa mengikat.
Dilihat dari perkembangan sosial yang ada, nampaknya kita perlu meninjau ulang pelaksanaan nikah sirri, karena ternyata fakta di lapangan menunjukkan, pihak perempuan yang melakukan nikah sirri kurang mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Akibatnya, mereka sering menjadi pihak yang dirugikan dalam perkawinan. Dan ini artinya, terjadi pengingkaran terhadap misi dan fungsi hukum perkawinan itu sendiri. Jika hukum positif formal dianggap lebih memberikan jaminan kepastian hukum dan lebih mampu memberikan perlindungan kepada perempuan sebagaimana yang ditetapkan dalam misi dan fungsi hukum islam, tidak ada salahnya umat Islam menggunakan dan menerapkan hukum positif yang ada. Dalam masalah perkawinan, hukum positif memiliki maqaasidus syar’i (tujuan penerapan hukum) yang sama dengan hukum Islam yaitu mashalih mursalah.
Penerimaan persyaratan hukum positif dalam masalah perkawinan, tidak dimaksudkan untuk menafikan hukum Islam dalam perkawinan, sebaliknya justru untuk memperkuat misi dan fungsi hukum dalam Islam. Dalam hal ini, kita bisa melakukan Qiyas (analog) terhadap hukum nikah mut’ah. Meski pada mulanya nikah mut’ah diperbolehkan, namun ketika hal tersebut menimbulkan dampak sosial yang makin negatif, khususnya bagi kaum perempuan, akhirnya hal tersebut dilarang oleh Nabi. Demikian pula dalam pelaksanaan nikah sirri. Jika hal tersebut ternyata lebih banyak menimbulkan madlarat bagi kaum perempuan, ada baiknya hal tersebut dihindari. Tidak harus menafikan cara, prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan dalam hukum Islam, tetapi melengkapinya dengan persyaratan formal, agar perkawinan tersebut lebih terjaga dan terlindungi. Hal ini juga sesuai dengan prinsip ushul fiqh yang menyatakan: “irtikaabu ‘ala akhaffu dlaruraini wajibun“ mengambil resiko terkecil dari dua buah resiko, dalam hukum Islam hukumnya wajib. Dalam berbagai kasus perkawinan yang ada, pernikahan sirri lebih memiliki resiko yang besar dan berat daripada nikah formal (ghairu sirri). Berangkat dari kaidah ini, maka akan lebih baik jika kita melakukan nikah ghairu sirri, karena resikonya lebih ringan dan kecil.***
_______
Dra. Sinta Nuriyah A. Wahid, MHum
Ketua Puan Amal Hayati

http://www.puanamalhayati.co.cc/2011/01/jaminan-perlindungan-perempuan-dalam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar